Sabtu, 28 Juni 2014

Sejarah Pulau Kapota, Wakatobi



Pulau Kapota disebut juga Pulau Kambode. Perubahan nama Kambode menjadi Kapota sejak pemerintahan Kesultanan Dayanu Ikhsanudin di Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Perubahan ini berdasarkan Undang-Undang kerajaan sekitar abad ke-21 Masehi. 
Berdasarkan informasi dari masyarakat, nama Kapota berawal dari sejarah pembagian Kadie. Kadie merupakan bagian-bagian daerah kekuasaan pada pemerintahan kesultanan Buton. Dalam pembagian kadie terdapat 72 kadie pada masa itu, dimana 70 kadie berada di luar wilayah keraton Buton Bau-Bau, sementara 2 kadie terletak di dalam keraton Buton sendiri. Dari 70 Kadie, berdasarkan wilayah administrasi kerajaan di bagi menjadi 2 kawasan. Pertama,  kawasan timur matahari terbit (matanaeo) dan kedua, kawasan barat matahari tenggelam (suranaeo). Sementara, Kapota termasuk di kawasan timur matahari terbit. Penamaan Kapota berdasarkan beberapa referensi berasal dari sejarah pembagian kawasan kekuasaan (kadie), dimana Kapota artinya Cukup/akhir dari wilayah kadie yang ada.
Sekitar abad ke-16 ada sekelompok orang yang datang dari kerajaan La Makera yang merupakan Kerajaan Hindu yang terletak di Flores, Nusa Tenggara Timur (Baca: http://www.wakatobitourism.com/id/pulau-kapota/). Seiring berjalannya waktu diketahui sekelompok orang itu mendiami Wanci tepatnya di atas bukit Tindoi. Mereka melarikan diri dari cengkraman para penguasa di kerajaannya. Beberapa orang itu bernama La Gantauri, La gantalangi, Wa Mentokila, dan Patimalela. Ke empat orang ini merupakan anak dari Wa sulubhaende. 
Semenjak ibu dari anak-anak ini meninggal dunia, terjadi perubahan begitu cepat di sisi sosial dan budaya. Mereka bertekad untuk menyatukan komunitas agar terhindar dari ancaman para penguasa. Oleh karena itu mereka membagi tugas di beberapa wilayah yang ada di Wangi-Wangi. Salah satu dari mereka Patimalela  bertugas untuk menyatukan komunitas yang ada di pulau Kapota.
Waktu itu Pulau Kapota dilihat terdapat dua titik komunitas yang ditandai dengan adanya asap. Kedua titik ini antara lain Watorun-toru dan Dholo. Komunitas yang ada di Dholo adalah orang beragama hindu yang berasal dari kerajaan Lamakera yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur. Sementara komunitas yang ada di Watorun-toru adalah orang asli Kapota.
Sekitar abad ke-17an pada masa pemerintahan Kesultanan Himayatudin (La Karambau), dirangkullah kedua komunitas ini untuk membangun sebuah benteng yang ada di Katiama (Kampung pertama). Namun saat itu kepercayaan Hindu tidaklah mudah meninggalkan nilai-nilai budaya mereka yaitu animisme dan dinamisme. Sampai sekarang bekas/jejak budaya mereka masih ditemukan di beberapa titik seperti di Padha yang ditandai adanya Batu Besar Layaknya Prasasti. Karena orang-orang hindu sangat sulit meninggalkan budayanya, maka kesultanan Buton mengutus para penyiar agama islam  di bawah pimpinan Bapak Barakati (anak sultan Himayatudin). 
Pendaratan pertama para penyiar ini di sebuah tanjung yang di beri nama Batu Banakawa (Bana berarti Pertama, Kawa artinya tiba). Pendaratan pertama gagal diakibatkan kapal layar para penyiar agama islam kandas di batu karang. Oleh karena itu, mereka berpindah mencari pendaratan yang aman yaitu di Pantai Oa’ Wolio. Apabila di lihat dari namanya, sudah sepantasnya pantai Oa’Wolio memiliki hubungannya dengan Wolio yang ada di Kabupaten Buton (Bau-Bau). 
Setelah mendarat Ke Pulau Kapota, para penyiar kemudian menuju benteng Benteng Katiama sebelah Barat Pulau Kapota. Tujuan mereka adalah untuk mengajarkan agama islam kepada para pemeluk kepercayaan anemisme dan dinamisme. Melihat kondisi yang cukup sulit untuk mengajarkan islam, Bapak Barakati selaku pemimpin memberitahukan kepada seluruh penduduk untuk membuat satu benteng di sebelah timur yang dikenal dengan Benteng Togo Molengo (Togo artinya kampung, Molengo artinya Lama). Ini merupakan strategi agar para pemeluk hindu meninggalkan budayanya karena jarak dari Togo molengo ke Benteng Katiama cukup Jauh.
Selama beberapa tahun Togo Molengo di perintah oleh La Ode ana (bapak Barakati), yang sekaligus sebagai khotib. Waktu itu beliau memberitahukan kepada pengikutnya untuk mencarikan salah seorang yang bisa menjabat sebagai Bonto (selevel kepala kelurahan). Sekitar abad ke-18an datanglah rombongan dari kerajaan Buton di bawah pimpinan La Ode Moloku yang bertujuan untuk memerintah di Togo Molengo. Seiring berjalanannya waktu, terjadi perebutan kekuasaan hingga terjadi perlawanan antar pemimpin. Kedua pemimpin tersebut sakti mandra guna sehingga diantara mereka tidak ada yang kalah. Salah satu dari mereka menyerahkan pedangnya dan meminta untuk membunuhnya dengan pedangnya sendiri hingga meninggal dunia.
Akhirnya, Togo Molengo waktu itu di perintah oleh la Ode Moloku dan diberi gelar Meantu’u (gelar tertinggi adat).  Hingga kini pemerintahan adat masih berlaku di Pulau Kapota atau di wilayah Wakatobi pada umumnya. 


Catatan !
Cerita ini masih dalam proses revisi

2 komentar:

songge.co.id mengatakan...

Maaf kak. Saya mau tanya. Saya berasal dari lamakera, solor kak, tepatnya di Flores nusa tenggara timur, dari sejarah yang di cerita pada tulisan ini , lamakera yang di maksud dalam tulisan ini apakah benae sesuai dengan tempat asal kami ka.maaf kak saya penasaran sekali..terimaa kasih

pulau kapota mengatakan...

Beberapa tokoh masyarakat mengungkapkan demikian dik. Katanya, waktu itu ada org Lamakera yang datang ke Kapota dan mereka membawa kain tenun yg sama dengan kain tenun Kapota saat ini(kain tenun dikapota/Wakatobi disebut leja). Cerita ini juga sudah dipulikasikan di website dinas pariwisata (http://www.wakatobitourism.com/id/pulau-kapota/). Akan tetapi, saat ini saya masih menggali informasi dan mencari bukti-bukti terkait hal ini. Terima kasih..