APA ITU EKOWISATA MANGROVE ?
“Ekowisata Mangrove” mengandung dua kata yang akan memiliki hubungan dalam kacamata dunia pariwisata. Kata “Ekowisata” pertama kali diperkenalkan oleh The International Ecotorism Society (1990), mendefinisikan bahwa Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan wisata yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat, dan kata “Mangrove” merupakan kombinasi antara bahasa portugis “mangue” dan bahasa inggris “grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata “mangrove” digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut (terutama didaerah pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dan komunitas tumbuhnya bertoleransi terhadap garam (Kusmana, et al., 2003 dalam setiawan H., 2011). Kata-kata “Ekowisata Mangrove” dapat diartikan sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area mangrove yang masih alami dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
MENGAPA PERLU EKOWISATA MANGROVE ?
Secara Nasional, Hutan mangrove sekarang ini semakin sempit. Kerusakan
hutan mangrove Indonesia, kini
semakin merata ke berbagai wilayah di nusantara. Luas hutan mangrove Indonesia, berdasarkan survei
Kementerian Kehutanan tahun 2006
adalah
7,7 juta hektar, namun dalam survei lanjutan yang digelar tahun 2010 silam
hutan mangrove Indonesia kini tersisa
tinggal sekitar 3 juta hektar. Hilangnya mangrove ini disebabkan oleh konversi hutan mangrove
yang bervariasi, seperti penimbunan sampah, menjadi lahan
perkebunan, pertambakan, dan areal untuk tinggal manusia (www.mongabay.co.id).
Sejumlah wilayah di Indonesia, mengalami kerusakan
mangrove yang cukup parah seperti Riau, Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan
Kota Dumai yang disebabkan
maraknya pembalakan dari warga sekitar dengan tidak melakukan penanaman kembali. Sementara di
pesisir utara Jawa Tengah, di sekitar kota Semarang. Dari data Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dari luasan hutan mangrove
sekitar 5.000 hektar, 90% wilayah ini mengalami kerusakan parah. Di wilayah
Sumatera Utara, sekitar 1.385 hektar hutan mangrove
yang berada di kecamatan Bandan Barat Kabupaten Langkat Sumatera Utara, kini
rusak, akibat dijadikan kebun kelapa sawit, oleh pengusaha swasta. Di Kalimantan, hal
yang sama juga terjadi. Sebagian hutan mangrove
di sepanjang pesisir Kabupaten Kubu Raya hingga ke Kayong Utara, Kalimantan
Barat, dirusak. Di sejumlah titik, mangrove
yang sudah cukup besar dipotong dan diambil kayunya. Sebagian kayu sudah
dipotong dan tunggulnya dibiarkan.
Bisa dibayangkan, jika hutan mangrove Indonesia terus menyusut, dunia akan kehilangan nyaris
seperempat cadangan karbon dunia dari lahan mangrove
Indonesia, plus bonus hilangnya berbagai spesies langka yang mendiami
kawasan sekitar mangrove seperti
bekantan (Nasalis larvatus) yang
hanya ada di Kalimantan, dan ikan pesut yang semakin tidak jelas keberadaannya.
Di era globalisasi dan
keterbukaan informasi, perkembangan sektor pariwisata mengalami kemajuan yang
cukup pesat. Banyak manfaat dari dunia pariwisata yang mempunyai dampak
langsung kepada masyarakat. Pembangunan sektor pariwisata diantaranya dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus
kemiskinan, dan mengatasi pengangguran.
Kepariwisataan
Indonesia merupakan salah satu penggerak perekonomian nasional yang potensial
untuk memacu pertumbuhan perekonomian yang lebih tinggi di masa yang akan
datang. Pada tahun 2008 kepariwisataan Indonesia berkontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 153,25 trilyun atau 3,09% dari total PDB
Indonesia (BPS, 2010). Pada tahun 2009, kontribusinya meningkat menjadi 3,25%.
Pertumbuhan PDB pariwisata pun sejak tahun 2001 selalu menunjukkan angka
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan PDB nasional. Walaupun masih
menunjukkan angka sementara, pada tahun 2009 pertumbuhan PDB pariwisata
mencapai 8,18%, sedangkan PDB nasional hanya 4,37%.
Konsep pariwisata
berbasis ekologi telah berkembang pesat di Indonesia. Jenis wisata ini tidak
hanya sekedar melakukan kegiatan wisata massal seperti mengunjungi objek
wisata, foto-foto, pengamatan lapangan tetapi juga terkait dengan konsep
pendidikan, pelestarian alam/hutan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Ekowisata
merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan
terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Ekowisata tidak dapat
dipisahkan dengan konservasi. Konsep pariwisata jenis ini juga mengoptimalkan
dampak positif dengan pemikiran mengembangkan pariwisata yang lebih berpihak
pada masyarakat di sekitar objek wisata. Pengembangan ekowisata mangrove menganut beberapa
prinsip antara lain: (a) Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan; (b) Membangun
kesadaran dan penghargaan terhadap lingkungan alam; (c) Menawarkan
pengalaman-pengalaman positif; (d) Memberikan keuntungan finansial bagi
masyarakat; (e) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial dan lingkungan
dan (f) Menghormati Hak Asasi Manusia.
BAGAIMANA MEMASARKAN EKOWISATA MANGROVE ?
Apakah sebenarnya arti pemasaran ? Kotler & Amstrong dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Pemasaran”
mendefinisikan bahwa pemasaran tidak hanya dipahami dalam pengertian lama
“katakan dan jual” tetapi dalam pengertian baru yaitu “memuaskan kebutuhan
pelanggan”. Jika pemasar memahami kebutuhan pelanggan dengan baik,
mengembangkan produk yang mempunyai nilai superior, dan menetapkan harga,
mendistribusikan, dan mempromosikan produknya dengan efektif, maka
produk-produk ini akan terjual dengan mudah. Dengan berbagai variabel yang
terdapat dalam pemasaran, maka kita mendefiniskan bahwa pemasaran adalah suatu proses dan manajerial yang membuat individu maupun
kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan
pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain (Kotler &
Amstrong, 2001:7).
Secara umum memasarkan destinasi wisata atau obyek
daya tarik wisata berarti mendesain agar mampu memenuhi dan memuaskan keinginan
dan kebutuhan pelanggan. Siapakah pelanggan itu? tentu saja orang-orang atau
sekelompok orang yang memiliki keinginan
dan kebutuhan terhadap produk kita. Dengan kata lain, pelanggan dalam pariwisata
dikenal dengan istilah “wisatawan”.
Dalam sebuah usaha, pemasaran adalah sesuatu yang paling penting
agar usaha tersebut bisa terus berjalan. Begitu pula dalam pariwisata agar
tetap dikunjungi oleh wisatawan perlu adanya strategi yang
tepat sasaran. Baiquni
(2012:12) mendefinisikan bahwa strategi adalah hal menciptakan suatu posisi
yang unik dan bernilai yang melibatkan berbagai aktifitas perusahaan.
Strategi pemasaran yang akan
digunakan dalam memasarkan Ekowisata Mangrove yaitu
dengan menggunakan konsep Segmenting,
Targeting dan Positioning (STP).
Segmentation
Hermawan kartajaya dan
yuswohadi (2005:71) dalam bukunya “Attracting Tourist, Traders, Investor:
Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi mendefinisikan bahwa Segmentation
atau segmentasi sebagai
cara melihat pasar secara kreatif atau biasa disebut sebagai mapping strategy atau strategi memetakan
pasar. Segmentasi juga dapat didefinisikan sebagai upaya
memilah-milah konsumen atau wisatawan sesuai persamaan di antara mereka. Maka
dari itu, segmentasi untuk ekowisata mangrove yang
pertama dan yang paling utama adalah para pelajar, yang kedua adalah para peneliti
lingkungan hidup dan hewan. Kemudian yang menjadi sasaran ketiga adalah
masyarakat luas.
Targeting
Setelah pasar disegmentasi
ke dalam kelompok-kelompok wisatawan potensial, selanjutnya memilih segmen
pasar yang akan dituju atau yang menjadi target pasar. Targeting
yaitu membidik target pasar
yang telah dipilih dalam analisa segmentasi pasar. Dalam hal ini, untuk target ekowisata mangrove
akan dibidik melalui kerjasama
dengan sekolah-sekolah dan kampus, ikut serta dalam event-event pameran pariwisata, serta memasang iklan di media
cetak.
Positioning
Positioning sudah menjadi kata yang tidak asing lagi karena
sering digunakan dalam bahasa indonesia yaitu posisi. Posisi menunjukkan letak
suatu benda, orang atau atribut yang berada pada suatu ruang atau tempat
tertentu (Baiquni, 2012: 37). Dalam
pariwisata Positioning
yaitu memberikan penjelasan kepada wisatawan tentang posisi produk wisata yang
akan ditawarkan. Langkah ini artinya menciptakan citra produk ekowisata mangrove
ke dalam benak atau persepsi wisatawan yang akan dibidik. Hal ini sangat
penting karena untuk meraih simpati dalam benak konsumen atau wisatawan yang
selanjutnya bisa mendorong mereka untuk membeli produk wisata yang ditawarkan.
Setelah
mengidentifikasi tourist
value melalui konsep Segmenting,
Targeting dan Positioning,
selanjutnya kita terapkan
konsep marketing mix atau bauran
pemasaran 7P
yaitu Product,
Price, Place, Promotion, people, process, dan pelayanan (service).
1. Produk
(product)
Produk
berarti kombinasi barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada pasar
sasaran. Dalam kawasan mangrove, jenis wisata yang ditawarkan kepada pasar
adalah ekowisata. Jenis wisata
ini lebih banyak menawarkan edukasi tentang fungsi dan
manfaat mangrove bagi kehidupan di
bumi ini. Misalnya dalam fungsi ekologis, hutan mangrove dapat dijadikan pembibitan flora dan fauna, pencegah
polutan, abrasi, bahkan tsunami. Dalam dunia pariwisata, kawasan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat
penelitian, rest area, camping ground,
wisata alam yang manfaatnya dapat membuka peluang kerja masyarakat sekitar
seperti tukang parkir, loket karcis, guide,
dan lain sebagainya.
2.
Harga (price)
Harga
adalah jumlah uang yang harus dibayar pelanggan untuk memperoleh produk. Untuk
menentukan harga harus dilihat terlebih dahulu siapakah yang menjadi pasar
sasarannya. Ekowisata mangrove ini mengarahkan sasaran pasar pada
para pelajar, mahasiswa dan wisatawan lokal maupun mancanegara. Maka dari itu, harga yang
ditetapkan untuk produk wisata ini harus yang dapat terjangkau oleh
pasarnya.
3.
Tempat (place)
Tempat
meliputi kegiatan perusahaan yang membuat produk tersedia bagi pelanggan
sasaran. Dalam pemasaran jasa, place
merupakan gabungan antara lokasi dan keputusan atas saluran distribusi, dalam
hal ini adalah bagaimana cara penyampaian jasa kepada konsumen sasaran. Untuk
ekowisata, place hanya terdiri atas saluran distribusi karena lokasi suatu
daerah ekowisata tertentu.
Dalam saluran penyampaian jasa kepada konsumen (saluran distribusi), ada tiga
partisipan yang berperan, yaitu service
provider (penyedia jasa itu sendiri/host), intermediaries (travel agent, guide), dan Consumer (guest/wisatawan).
4.
Promosi (promotion)
Promosi
dilakukan dengan maksud untuk mengkomunikasikan produk atau jasa yang akan
ditawarkan kepada konsumen atau wisatawan. Rencana pentahapan promosi yang akan
dilakukan untuk mempromosikan ekowisata mangrove sebagai berikut :
a. Menentukan segmentasi pasar dan
target pasar
b. Untuk segmentasi pelajar, promosi
dilakukan dengan cara menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah untuk
memberikan pengetahuan tentang pentingnya Hutan Mangrove.
c. Mengadakan kerjasama dengan dinas
pariwisata dalam hal promosi dengan mencantumkan ekowista
mangrove di brosur-brosur pariwisata yang
ada di dinas pariwisata.
d. Promosi ekowista mangrove dilakukan melalui media cetak seperti di koran-koran,
majalah, dan mencetak brosur-brosur yang kemudian disebarkan di bandar udara, pelabuhan,
sekolah-sekolah, hotel-hotel dan lain sebagainya.
e. Berpromosi dengan membuat gambar
bertema ekowisata mangrove di bus-bus kota atau alat
transportasi lainnya.
f. Membuat situs resmi di internet
secara lengkap tentang ekowisata mangrove
g. Membuat souvenir-souvenir yang menarik untuk dijual
kepada wisatawan yang secara tidak langsung dapat menjadi media promosi. Souvenir-souvenir itu bisa berupa kaos dan lain
sebagainya.
5. People (orang)
Kesuksesan pemasaran suatu jasa sangat tergantung pada
seleksi, pelatihan, motivasi dan manajemen sumberdaya manusia (Payne, 2001).
Banyak contoh pemasaran jasa yang gagal maupun yang berhasil. Sebagai gambaran
pemasaran yang berhasil adalah pemasaran Disney Corporation. Di sana para karyawan
dilatih dengan sungguh-sungguh mengenai pemahaman bahwa pekerjaan mereka adalah
untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Dalam hubungan dengan ekowisata mangrove, maka karyawan harus diberikan
pemahaman bahwa mereka adalah bagian dari “pemain”. Dan mereka harus memastikan
bahwa pengunjung akan mendapatkan pengalaman. Gagasan yang ada di balik ini
adalah untuk memastikan bahwa semua karyawan yang mengelola ekowisata mangrove dapat memberikan sesuatu yang
terbaik bagi pelanggan/konsumen jasa ekowisata.
6. Process (proses)
Proses yaitu semua prosedur aktual, mekanisme, dan
aliran aktivitas dengan mana jasa disampaikan yang merupakan sistem penyajian
atau operasi jasa (Yazid, 2001). Sedangkan Lupiyoadi (2001) dalam Hendarto (2003) mendifinisikan
proses sebagai gabungan semua aktivitas yang umumnya terdiri atas prosedur,
jadwal pekerjaan, mekanisme, aktivitas, dan hal-hal rutin di mana jasa
dihasilkan dan disampaikan kepada konsumen. Lyn Shostack dalam Payne (2001) menyatakan bahwa proses merupakan unsur
struktural yang dapat dikelola untuk membantu strategi positioning yang diharapkan. Proses dapat dipertimbangkan dengan
dua cara, yaitu dalam hal kompleksitas dan konvergensi. Kompleksitas berkaitan
dengan karakteristik langkah dan urutan yang terdapat dalam proses tersebut,
sementara divergensi mengacu pada ruang gerak atau variabilitas pelaksanaan
langkah-langkah dan urutan-urutannya.
7. Pelayanan wisatawan (Tourist Service)
Pelayanan wisatawan
di sini lebih dilihat sebagai outcome
dari kegiatan distribusi dan logistik di mana pelayanan diberikan kepada wisatawan
untuk mencapai kepuasan. Pelayanan wisatawan ini meliputi aktivitas untuk
memberikan kegunaan waktu dan tempat (time and places utility) termasuk
pelayanan pratransaksi, saat transaksi, dan pascatransaksi (Lupiyoadi, 2001). Salah
satu studi mengenai pelayanan di sektor jasa telah dilakukan oleh Parasuraman
et. al (1988). Hasil studi ini menyimpulkan bahwa terdapat lima dimensi servis quality (Servqual), yaitu:
1.
Tangibles (bukti fisik), yaitu
kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak
eksternal. Ini meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan penampilan personil.
2.
Realiability (realibilitas), yaitu
kemampuan melakukan layanan jasa yang diharapkan secara meyakinkan, akurat dan
konsisten.
3.
Responsiveness (daya tanggap), yaitu
kemampuan untuk memberikan layanan yang cepat, membantu pelanggan dengan tepat,
dan pemberian informasi yang jelas.
4.
Assurance (jaminan). Hal ini
meliputi pengetahuan, sopan santun dan kemampuan karyawan dalam menyampaikan
kepastian yang dapat menumbuhkan rasa percaya pelanggan pada penyedia jasa.
5.
Empati, yaitu memberikan perhatian
yang tulus dan bersifat individual pada pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan pelanggan.
Hubungannya
dengan jasa ekowisata mangrove, ke
lima dimensi servqual ini dapat
diadopsi untuk melakukan strategi pemasaran. Dimensi realibilitas merupakan
dimensi yang paling kritis. Ini berarti bahwa di atas segalanya, penyedia jasa
ekowisata harus berusaha agar dapat diandalkan dan memberikan apa yang
dijanjikan kepada wisatawan. Selain itu, yang perlu diperhatikan dalam unsur layanan
wisatawan disini adalah bahwa tiga dari dari lima dimensi di atas jaminan, daya
tanggap dan empati dihasilkan langsung dari unsur people (karyawan), demikian juga dengan faktor reliabilitas yang
juga sangat tergantung pada kinerja karyawan (Hendarto, K.A., 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, 2012. Manajemen Strategis Destinasi Pariwisata. Program Studi Kajian
Pariwisata. Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Kotler & Amstrong, 2001. Prinsip-Prinsip
Pemasaran. Edisi Kedelapan, Jilid 1. Erlangga. Jakarta.
Hendarto K.A., 2003. “Bauran
Pemasaran pada Jasa Ekowisata”, Jurnal Ilmiah Kesatuan, Volume 4 Nomor 1-2,
hal. 28-30.
Kartajaya, H., dan Yuswohadi, 2005. Attracting Tourist, Traders, and Investor
Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta: MarkPlus & Co
Setiawan, H., 2011. Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Berdasarkan Pendekatan dengan Masyarakat Pesisir. [seputarmangrove.com] diakses 19 Juni 2014.
Yoeti, A., 2008.
Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata.
Cetakan kedua. Jakarta: Pradnya Paramita.
http://www.mongabay.co.id/2012/07/12/hutan-mangrove-indonesia-terus-terkikis-manusia/ (diakses 5 Juli 2014)
0 komentar:
Posting Komentar